[diunduh dari SahabatMuseum kiriman Kiki Suriki]
KASUS RENCANA PEMBUNUHAN MAKAR DI ZAMAN PENJAJAHAN
ditulis oleh: Junus Nur Arif
Suasana jalan Pangeran Jayakarta atau Jacatraweg di zaman belanda terasa angker. Diatas sebuah dinding di jalan itu, terpancang sebuah tengkorak batu yang ditusuk tombak. Pada dinding terpahat sebuah maklumat dalam Bahasa belanda dan Jawa. Isinya: larangan selama-lamanya untuk mendirikan bangunan ataupun menanam tumbuh-tumbuhan di tempat itu.
Monumen yang mengerikan itu dimaksud sebagai peringatan tentang peristiwa "Penghianatan" yang menurut versi colonial dilakukan seorang Indo Jerman bernama Pieter Erbervelt bersama orang-orang Indonesia. Istilah pengkhianatan sengaja ditulis antara tanda petik, sebab orang-orang Belanda pun kemudian sangsi, benarkah kejadian itu suatu pengkhianatan, ataukah sebuah proses ketidakadilan yang mencemarkan?
Kisah Erbervelt itu hidup terus selama dua abad dikalangan penduduk Jakarta sampai berakhirnya kekuasaan Belanda. Tempat tengkorak batu itu terpancang dinamakan Pecah Kulit.
Pengakuan Semu
Seorang sejarahwan Belanda, Prof. Dr. E.C.Godee Molsbergen menulis tentang peristiwa Erbervelt dalam De Nederlandsch Oostindische Compagnie in de Achtiende eeuw, yang termuat dalam buku sejarah Geschiedenis van Nederlands Indie, jilid empat, himpunan Dr. F. W. Stapel.
Menurut Prof. Dr. Godee Molsbergen, "Pada akhir desember tahun 1721, di masa pemerintahan gubernur Zwaardecroon, telah terbongkar sebuah komplotan yang dianggap amat berbahaya. Komplotan itu bertujuan membunuh semua orang kulit putih di Jawa dan menduduki Batavia. Mungkin sekali, karena berbagai keadaan pada masa itu, orang tak dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sengala rencana komplotan itu diperoleh dari hasil siksaan-siksaan. Apalagi 'Semua pengakuan' itu satu sama lain tidak cocok; misalnya tentang waktu rencana."
Dari tulisan itu jelas bahwa Molsbergen termasuk orang yang menyangsikan tentang kebenaran tuduhan dan keadilan hukuman yang dijatuhkan.
Tengkorak yang mengerikan itu kini sudah tidak ada lagi di jalan Pangeran Jayakarta. Masyarakat Jakarta sudah ingin menghilangkan pemandangan tak sedap itu sebelum perang. Menjalang meletusnya perang Pasifik, sebuah perkumpulan orang - orang Indo mengajukan permintaan untuk menyingkirkannya. Permintaan itu di tolak. Akhirnya penyingkiran tengkorak itu baru terlaksana setelah Belanda kalah melawan Jepang.
Riwayat Kejadian
Menurut Prof. Godee Molsbergen, orang pertama yang mengetahui tentang adanya komplotan itu adalah Reykert Heere, komisaris untuk urusan Bumi Putera.
Pada akhir tahun 1721 dalam suatu pesta cina, seperti biasanya orang ramai memasang petasan. Pada waktu itu memang ada larangan memasang petasan, tetapi larangan itu tak pernah di indahkan.
Sebuah petasan jatuh ke benteng Zeelandia tempat menyimpan mesiu. Untung petasan itu tidak menimbulkan bencana. Sebelumnya, pada bulan agustus 1721, terjadi suatu kebakaran besar di suatu lapangan penimbunan barang - barang perlengkapan. Kebakaran itu membawa kerugian besar.
Dengan adanya petasan jatuh di gudang mesiu benteng Zeelandia, terbersit dalam pikiran para penguasa colonial : tidakkah perbuatan itu disengaja? Adakah hubungannya dengan kebakaran bulan Agustus?
Bukti nyata tentang kejadian itu tidak pernah ada. Semua hanya dugaan dan hasil rekonstruksi dari pikiran yang curiga.
Kecurigaan itu timbul karena pada waktu itu komisaris urusan Bumi Putera, Reykert Heere, konon melihat gejala - gejala keonaran dalam masyarakat. Budak-budak dihasut. Dalam masyarakat beedar perdagangan jimat-jimat dari lempengan kuningan. Ketika diperiksa, penjual lempengan kuningan itu ternyata Piter Erbervelt.
Berdasarkan laporan 'orang - orang terpercaya' alias para polisi rahasia, segera dilakukan penangkapan. Penangkapan pertama terjadi atas 3 orang jawa, seorang Sumbawa bersama isterinya dan isteri salah satu dari ketiga orang jawa tersebut.
Raden Kartadriya
Seorang dari ketiga oaring Jawa yang ditangkap itu bernama Kartadriya dan bergelar Raden. Menurut laporan Reykert Heere, di rumah Kartadriya diketemukan 12 potong tembaga berukir lambing-lambang. Barang siapa memakai lempengan tembaga itu tidak akan mempan oleh tombak dan peluru. Ia akan menjadi sakti. Lempengan itu dijual seharga 1 schilling, sekeping.
Dari penjualan potongan tembaga sakti itu, Kartadriya mendapat hasil 100 ringgit. Dari jumlah itu dia hanya memperoleh keuntungan sebagian saja, selebihnya diserahkan kepada Pieter Erbervelt.
Disamping Kartadriya dan kawan-kawan diperiksa pula 2 orang anak lelaki dan perempuan. Si anak perempuan berumur 7 tahun, yang lelaki lebih muda lagi. Menurut laporan Reyker Heere tertanggal 29 Desember 1721, "anak-anak itu bisa menceritakan tindak tanduk majikannya".
Siapa Pieter Elbervelt?
Elbervelt seorang Indo dari ayah Jerman dan ibu wanita Siam. Ayahnya sebetulnya bernama Pieter Elberfelt, tetapi ia biasa memendekkan menjadi Ervelt. Ayah itu tadinya seorang penyamak kulit, yang kemudian terpilih menjadi wakil ketua Heemraad karena kaya dan pandai.
Dari ayahnya, Pieter Erbervelt mewarisi nama, kekayaan dan reputasi baik. Ia menikah dengan wanita baik-baik pula. Pada suatu ketika Pieter pernah berselisih dengan Dewan Heemradeen (collage van heemradeen) perihal tanah.
Pieter mewarisi tanah di Pondok Bambu dari ayahnya, tetapi tanpa akte. Pada tahun 1708 collage van heemradeen memutuskan bahwa tanah di Pondok Bambu itu harus dikosongkan. Bahkan Pieter diwajibkan menyerahkan 3300 ikat padi. Pada tahun berikutnya tanah itu dinyatakan sebagai milik kompeni oleh Gubernur van Hoorn, dan persoalannya ditutup.
Sejak itu Erbervelt tidak senang pada pemerintah Belanda. Sebaliknya pemerintah mengecamnya sebagai tukang bikin perkara bagi kompeni. Dari sinilah tumbuh bibit kecurigaan kompeni pada Erbelvelt.
Mengaku setelah disiksa
Tiga pekan setelah Erbelvelt ditangkap, collage van heemradeen Schepenen atau dewan pejabat tinggi negara mulai melakukan pemeriksaan. Seluruh tawanan berjumlah 23 orang. Erbelvelt, Kartadriya dan seorang Sumbawa bernama Layeek merupakan terdakwa utama. Dalam pemeriksaan ketiga terdakwa menyatakan diri tak bersalah
Landdrost (semacam jaksa) mempunyai jalan lain untuk membuat para terdakwa mengakui. Merek aharus disiksa. Dalam siksaan mereka pasti mengaku. Kartadriya mendapat giliran pertama, karena Heeren Schepenen masih menangguhkan tindakan itu bagi terdakwa pertama, Erbervelt.
Kartadriya digantungi timbangan. Anak timbangan pemberatnya terus menerus ditambah. Kemudian rambut kepalanya dipotong. Heeren Schepenen rupanya percaya, bahwa seperti halnya dengan perkara sihir, kekuatan seorang terdakwa untuk membisu terletak pada rambutnya. Semua usaha itu sia-sia sebab Kartadriya tetap bungkam. Penyiksaan lebih lanjut ditangguhkan.
Kemudian ganti terdakwa Layeek. Orang ini langsung mengaku karena tak kuat menahan siksaan. Menurut pengakuannya Elbervelt telah membujuknya untuk menyusun rencana pemberontakan bila rencana itu berhasil, Erbelvelt akan menjadi raja atau gubernur. Para anggota komplotan akan mendapat balas jasa menurut peran dan keberanian masing-masing dalam pemberontakan itu.
Baik Kartadriya maupun Erbelvert akhirnya mengaku salah karena tak tahan meghadapi siksaan yang makin kejam. Erbelvelt mengaku bahwa ia dibujuk oleh Kartadriya. Ia juga mengaku telah mendapat gelar 'Tuan Gusti" dari seoarang raja Bali sebagai tanda terima kasih atas pertolongannya dalam suatu kecelakaan laut.
Prof. Godee Molsbergen selanjutnya menulis bahwa Erbelvelt hanya atas mengaku saja. Ia mengatakan bahwa rencana komplotan itu disembunyikannya dalam sebuah peti yang tersimpan di lemari tua di rumahnya. Ia juga menyatakan telah mengadakan hubungan surat menyurat dengan putera Surapati. Ia pun menyebutkan sejumlah nama khayalan : 12 pangeran dan seorang pangeran dari Banten serta 13 pangeran dan 3 orang raden dari Cirebon.
Prof. Godee Molsbergen selanjutnya menulis, 'tetapi walaupun dicari dengan teliti, tak sepucuk suratpun diketemukan dalam sebuah kotak di almari tua di rumah Erbelvelt'.
19 orang dihukum mati
Setelah mendengar hasil pemeriksaan Erbervelt, pemerintah tinggi berpendapat bahwa "rencana sangat kabur dan tampaknya disusun tanpa permufakatan sedikit pun!".
Oleh karena itu pemerintah menginsrtruksikan kepada residen, bahwa mereka "dilarang melakukan pemeriksaan, menanyai atau minta keterangan apapun terhadap para pangeran, pejabat atau bangsawan Jawa" yang namanya disebut-sebut oleh para terdakwa dalam perkara Erbervelt.
Pemerintah tinnggi berpendapat bahwa dalam keadaan yang serba berubah-ubah berdasarkan keterangan para terdakwa. Kartasura, Banten dan Cirebon lebih baik dibiarkan dalam keadaan tak menentu dan meraba-meraba sendiri.
Ini sama sekali tak berarti bahwa para terdakwa bebas!
Dari 25 tertuduh, 19 dijatuhi hukuman mati. Semua tertuduh harus membayar ongkos perkara dan separoh dari harta benda mereka disita.
Menurut Prof Godee Molsbergen, hukuman yang dijatuhkan kepada Erbervelt dan Kartadriya sangat kejam, "seperti lazimnya pada waktu itu". Selanjutnya ia melukiskan pelaksanaan hukuman itu:
".punggung diikat pada sebuah salib, tangan kanan dibacok sampai putus, lengan dijepit, daging kaki dan dada dicungkil keluar. Tubuh lalu dibelah dari bawah ke atas. Jantung dikeluarkan dan dilemparkan ke wajah mereka. Kepala dipancung, badan-badan dipotong-potong lalu disebarakan di sekitar rumah kediaman mereka. Kepala mereka ditancapkan pada sebuah tonggak di sebuah tempat di luar kota menurut keputusan pemerintah. Maksudnya agar menjadi makanan burung-burung!"
Pelaksanaan hukuman mati itu disetujui sepenuhnya oleh Raad van Indie, yang menetapkan" bahwa hukuman yang diputuskan Heeren Schepenen harus dilaksanakan di lapangan sebelah selatan kasteel, dan tidak di depan gedung balai kota".
Harta milik Pieter Erbervelt, diantaranya sebuah rumah, kemudian dirobohkan. Di atas tempat itulah dipancangkan sebuah patung tengkorak di tembus ombak, serta maklumat yang melarang penanaman pohon dan tumbuh-tumbuhan untuk selama-lamanya.
Larangan itu bertanggal 14 April 1722, hukuman mati dilaksanakan 8 hari kemudian.
Pengadilan tidak wajar
Prof. Molsbergen menemukan banyak ketidakwajaran dalam proses pengadilan itu. Perkara penghianatan yang tergolong criman leasae majestatis - kejahatan terhadap yang dipermuliakan.- seharusnya diadili oleh Raad van Justitie, bukan oleh collage van heemraden.
Pelaksanaan hukuman mati tidak boleh disembarang tempat, tetapi harus di tempat yang biasa di pakai oleh raad van Justitie. Para terdakwa tidak diberi pembela. Harta milik para terdakwa tidak hanya disita separoh sebagaimana keputusan yang dijatuhkan, tetapi seluruhnya.
Setelah semua beres, Reykert Heere, komisaris urusan Bumi Putera yang merasa mendapat info pertama tentang "pengkhianatan" Erbervelt, minta balas jasa. Ia minta kenaikan pangkat dan akhirnya dinaikkan menjadim opperkoopman (pembeli tertinngi) dengan gaji F 100 sebulan. Pelaksanaan kenaikan menunggu persetujuan Heeren Zeventien, penguasa tertinggi VOC.
Masyarakat tidak terpengaruh
Dr. F. De Haan menulis di majalah periangan, bahwa pada tahun 1723, jadi setahun kemudian, anak perempuan Erbervelt yang bernama Aletta, bertunangan dengan pemuda dari keluarga baik-baik. Dari peristiwa itu Prof. Molsbergen menarik kesimpulan bahwa masyarakat tidak menggubris 'aib' dari hukuman mati Erbervelt
Setelah patung tengkorak beserta maklumatnya diangkat dari taman pecah kulit, maka kisah Pieter Erbervelt kini tersimpan di museum dan dalam kenagan para orang tua yamg menurunkannya secara turun-menurun. [Intisari, September 1968]
Tulisan lain :
more
Dari Singapura ke Batavia membutuhkan waktu sekitar 40 jam perjalanan. Lautnya relatif tenang, kecuali pada masa perubahan musim; saat itu laut menjadi sangat bergelombang.
Setelah meninggalkan Singapura, kapal uap berlayar menyusuri kepulauan Rhio, pantainya sangat indah dengan titik-titik pulau-pulau kecil di sekitarnya. Kapal melampaui ekuator pada malam hari, di hari kedua melewati selat Banka, sebuah selat di antara pulau Banka dan pulau Sumatra. Kedua pantainya dijejeri pepohonan kelapa. Kapal berada begitu dekat dengan kedua pantai itu sehingga bendera kecil di atas menara di pulau Banka dapat terlihat dengan jelas.
Tapi semua ini tiba-tiba berubah. Sekonyong-konyong hujan turun, dan guyuran airnya yang tajam memukuli papan dek bagai panah-panah perak. Awan tebal mengembang di atas pantai, dan permukaan air yang semula tenang mulai bergerak dengan riak-riaknya. Warnanya yang hijau pirus berubah menjadi abu-abu keperakan. Keseluruhan atmosfirnya menyegarkan, tapi lebih segar lagi ketika semua ini berlalu.
Sebagaimana ia datang, begitu juga perginya. Hujan tiba-tiba saja berhenti. Tak lama kemudian diikuti terbenamnya matahari, dengan warna-warninya yang indah berpantulan di permukaan air dan pulau. Cepatnya perubahan memang merupakan karakteristik senja tropis.
Pulau Banka, bersama pulau Billiton di sisi timurnya, dikenal dengan produksi timahnya. Para penambangnya orang-orang Cina. Populasinya sekitar 115.000, kebanyakan orang Malay asal Sumatra.
Di pagi hari ketiga kapal uap memasuki Tandjong Priok. Sebagai pintu gerbang “Paradise of the East” ia agak kurang atraktif, tapi para pengunjung cukup puas dengan jaminan bahwa ini adalah ambang pintu yang tidak dipoles, menuju istana kecantikan alami yang amat luas.
Tandjong Priok. Pelabuhan kota Batavia. Di sini, di atas dermaga, begitu kapal merapat, para wisatawan disambut para pesuruh dari berbagai hotel. Kepada mereka barang-barang diserahkan (30 sen per parcel, biasanya akan dicantumkan dalam tagihan hotel). Juga ada porter resmi, yang akan membawa bagasi ke stasiun kereta api dengan biaya 10 sen per buah.
Pembangunan Tandjong Priok dilakukan antara 1877-1886, terdiri dari Pelabuhan Luar dan Pelabuhan Dalam. Pelabuhan Luar dengan kedalaman 26 kaki dilindungi oleh dua tanggul panjang masing-masing sepanjang 6.000 kaki. Pelabuhan Dalam panjangnya 3.500 kaki dan lebar 565 kaki, dengan dua dermaga, salah satunya memiliki tempat pengisian batubara. Biaya pembangunannya sebesar fl.2.200.000. Kini sedang diupayakan agar segera dilakukan perluasan.
Stasiun Kereta Api. Disebut Stasiun Tandjong Priok, berdampingan dengan kantor pabean. Di halamannya terdapat tempat penukaran uang (tempat menukar uang asing dengan uang yang berlaku di kepulauan) dan kantor pos (memiliki hubungan komunikasi telepon dengan hotel-hotel di Weltevreden). Dengan kereta api jarak ke Batavia sekitar 10 km, atau 16-17 menit, berangkat setiap 30 menit, kecuali hari Minggu dan hari-hari libur, saat itu kereta api tidak bekerja.
moreMenyulap Kota Toea Jadi Kawasan Wisata Primadona
~ Wahyu Wibisana ~
Sebagai daerah peninggalan penguasa kolonial Belanda, banyak kalangan meyakini bahwa kawasan Kota Toea merupakan tempat wisata yang memiliki potensi cukup lengkap. Gedung-gedung kuno megah dengan arsitektur khas Belanda (Eropa) terhampar mulai Jalan Pintu Besar (Utara dan Selatan) di Jakarta Barat hingga kawasan Sunda Kelapa di Jakarta Utara.
Bangunan-bangunan ini merupakan bagian sejarah kuat eksistensi Belanda (VOC) yang pernah membangun sebuah kota baru sebagai pusat pemerintahan mereka di sana. Namun yang menarik, di Kota Toea ini kita tak hanya bisa menikmati bangunan tua dengan ornamen-ornamen khas Barat. Karena pada sisi lain, tepatnya di kawasan Glodok, Pancoran, hingga Mangga Dua, kita masih bisa menyaksikan sisa-sisa peninggalan kebudayaan Timur, tepatnya dari daratan China.
Di kawasan tersebut, kita dapat menemukan sejumlah rumah abu dari marga-marga Tionghoa, kelenteng-kelenteng umat Tridarma (Buddisme, Khonghucu dan Taoisme), serta makam tua Kapiten Pertama Tionghoa Souw Beng Kong (Bengcon) sebagai bentuk eksistensi keturunan Tionghoa di daerah ini.
Potensi itu masih ditambah dengan hadirnya kawasan niaga Pecinan (China town) macam Glodok, Pancoran, Toko Tiga, Asemka, hingga Mangga Dua yang masih eksis hingga saat ini. Kawasan niaga Pecinan ini tentu sangat potensial untuk dijadikan sebagai lokasi wisata belanja, karena memiliki keunikan tersendiri di tengah berdirinya mal-mal modern. Tak heran kalau Kota Toea masih tetap memiliki potensi untuk “dijual” sebagai salah satu kawasan wisata primadona di DKI Jakarta.
Sayangnya, tidak tertatanya area ini membuat orang enggan melihatnya sebagai objek wisata utama, meski punya segudang potensi.
Berdasarkan kenyataan ini, Sinar Harapan mengadakan diskusi kecil tentang kawasan wisata potensial ini pada Rabu (12/3). Hadir dalam acara ini sejumlah tokoh pemerhati sejarah dan budaya Indonesia seperti dr Firman Lubis dan dr Rushdy Hoesin; Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta Aurora Tambunan; aktivis Komite Evaluasi Lingkungan Aca Sugandha, serta tokoh-tokoh pedagang kawasan Glodok yang tergabung dalam Paguyuban Kota Toea.
Perlu Penyelamatan
Dalam diskusi tersebut, sejumlah tokoh sepakat tentang perlunya upaya “menyulap” Kota Toea menjadi kawasan wisata primadona. Karena selain punya nilai historis, kawasan ini juga memiliki potensi ekonomi tinggi, terutama dalam sektor wisata dan niaga.
“Image (citra) Kota Toea harus dibangun kembali, karena dengan terbangunnya image ini, juga akan menimbulkan nilai-nilai ekonomi,” tutur Aca Sugandha. Selain itu, pemerintah daerah juga harus punya political will (kemauan politik) terhadap area ini. Meski ada sejumlah aturan tentang pengawasan bangunan cagar budaya, pelaksanaannya di lapangan masih kurang diperhatikan.
Pengamat sejarah Firman Lubis menyatakan bahwa selain political will, Pemda DKI Jakarta harus melihat Kota Toea sebagai potensi wisata primadona. Jika “kejayaan” kawasan Kota Toea bisa bangkit kembali, Pemda DKI akan banyak mendapatkan manfaat.
“Selain itu, perlu ada penataan kawasan ini secara konsisten. Manfaatkan kawasan ini secara maksimal termasuk kemungkinan membangun wisata air karena adanya anak Sungai Ciliwung di sana,” jelasnya.
Firman menyatakan menetapkan kawasan Glodok menjadi kawasan Pecinan bisa dijadikan salah satu alternatif seperti di negara-negara lain. Pendapat senada juga dilontarkan Rushdy. Menurutnya, di luar negeri kehadiran Pecinan selalu menjadi daya tarik tersendiri dan ramai dikunjungi para wisatawan. Maka Pemda DKI Jakarta bisa mencontohnya dengan menetapkan kawasan Glodok menjadi daerah “Pecinan resmi”.
Sementara itu, Made Budi dari Paguyuban Kota Toea menyatakan tentang perlu ada sejumlah kebijakan penting yang dilakukan oleh Pemda DKI untuk membangkitkan kembali kawasan Kota Toea, khususnya kawasan Glodok seperti dahulu. “Selama ini Kota Toea, khususnya Glodok, telah berubah menjadi kawasan yang semrawut. Para pedagang ingin kawasan ini ditertibkan kembali sehingga Glodok dapat menjadi daerah tujuan,” papar Budi.
Dia menuturkan selama ini ada sejumlah “batasan” yang membuat kawasan ini tak dapat pulih seperti para era kejayaannya dulu. Peraturan lalu lintas 3 in 1, lebih baik dihapuskan di kawasan ini. “Sebab banyak calon pembeli enggan datang karena persoalan 3 in 1, sehingga mereka lebih memilih berbelanja ke kawasan lain,” imbau perwakilan para pedagang Glodok ini.
Menanggapi semua usulan tersebut, Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta Aurora Tambunan menyatakan bahwa Pemda DKI Jakarta memang mengharapkan banyak masukan dari masyarakat soal penataan Kota Toea. Dalam waktu dekat, Pemda DKI juga menyiapkan master plan kawasan Kota Toea. Dalam rencana besar itu, Pemda DKI Jakarta akan menjadikan kawasan tersebut menjadi daerah wisata budaya.
Untuk penataan, pihaknya telah melakukannya sejak tahun 2006. Hanya saja, saat ini revitalisasi Kota Toea yang dilakukan masih bersifat pembangunan fisik seperti membenahi jalan dan memasang sejumlah lampu hias hingga ke Jembatan Kota Intan.
Selain itu, penyediaan angkutan publik seperti Transjakarta (busway) dan kereta wisata untuk mengelilingi Kota Toea secara gratis dan pembenahan masalah keamanan juga menjadi prioritas. “Kami juga akan menyiapkan sejumlah kegiatan pada akhir pekan, sehingga akan memancing orang untuk datang ke sana,” kata Aurora.
Aurora juga menuturkan bahwa selain program fisik, pihaknya juga akan melakukan revitalisasi ekonomi di kawasan tersebut, namun dilakukan secara bertahap dan perlu mendapat dukungan semua pihak termasuk investor. “Yang paling penting adalah menumbuhkan rasa kepedulian semua pihak untuk menjaga aset-aset di Kota Toea, dengan merawat bangunan-bangunan yang masih tersisa,” kata wanita yang kerap dipanggil Lola ini. [Sinar Harapan]
more
JAKARTA (SINDO) – Tempat penyeberangan orang (TPO) di Stasiun Jakarta kota yang akrab disebut Beos mulai beroperasi. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo meninjau langsung lokasi tersebut, sore tadi. Selain itu, Gubernur juga akan mengunjungi jembatan Kota Intan serta meresmikan Pencahayaan Kota Tua dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nurrachman menegaskan, kunjungan Gubernur tersebut dimaksudkan untuk melihat langsung bagaimana kondisi terakhir TPO. Meski demikian, dia mengaku belum dapat memastikan apakah Gubernur akan meresmikan langsung atau tidak TPO tersebut. ’’TPO itu sudah siap dioperasikan,” tuturnya kepada SINDO pukul 10.00 WIB, pagi tadi.
Dia menambahkan, pembangunan TPO Beos itu sudah rampung. Bahkan, saat ini pihaknya melengkapi TPO Beos itu dengan instalasi listrik untuk pendingin udara, lift, serta ornamen dinding. TPO yang terletak di depan Stasiun KA Jakarta Kota atau Beos telah dikerjakan sejak 2005 dengan dana Rp42 miliar. (edy gustan)
moreGubernur Fauzi Bowo dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu melakukan kunjungan ke kawasan kota Tua hari ini dan menyebut bahwa revitalisasi Kota Tua itu akan juga termasuk pembangunan pusat industri kreatif.
"Ada berbagai macam ide untuk menarik minat orang berkunjung ke Kota Tua. Salah satunya menggunakan Kota Tua sebagai industri kreatif," kata Menteri. Ia menyebut antara lain musik, mode, desain, restoran serta galeri, membandingkan revitalisasi Kota Tua itu dengan daerah wisata di Singapura dimana bangunan tua masih juga digunakan sebagai gedung perkantoran.
Sementara Gubernur Fauzi Bowo menyatakan "Kita siap menyesuaikan regulasi demi kemajuan Kota Tua. Apa yang diinginkan Pemerintah akan kita fasilitasi." Pembangunan industri kreatif itu seharusnya sudah "build in" dalam rencana revitalisasi Kota Tua, sehingga tidak hanya dilakukan revitalisasi, tapi ditambah dengan aktivitas.
Gubernur dan Menteri mencoba transportasi wisata bus mini kuno yang akan dioperasikan di sekitar daerah Kota Tua untuk para wisatawan yang berkunjung.
Selain meninjau Kota Tua dan pembangunan terowongan penyeberangan yang menghubungkan antara sisi Museum Bank Mandiri-Halte TransJakarta-Stasiun Kota, Gubernur juga meresmikan Museum Fatahillah yang baru selesai direnovasi. "Mari kita memanfaatkan momentum ini untuk berbuat lebih baik terhadap peninggalan sejarah," kata Fauzi.
moreUntuk mendukung program penataan kawasan Kota Tua di Jakarta Barat, Dinas Perhubungan DKI Jakarta akan mengoperasikan bus wisata yang berkapasitas 30 penumpang.
Adapun rutenya, kata Wakil Kepala Dishub DKI Jakarta Udar Pristono yakni seluruh obyek wisata di kasan Kota Tua. “Kita akan bekerja sama dengan UPT Kota Tua Dinas Kebudayaan dan Permuseuman untuk mengoperasikan bus wisata itu,” jelas Pristono, Kamis (24/1).
Pristono mengungkapkan, bus wisata Kota Tua itu akan berkeliling, mulai dari depan Museum Bank Mandiri kemudian Museum Wayang dan seterusnya. Dan selanjutnya akan berputar kembali menuju depan Museum Bank Mandiri. “Rute pastinya tengah dibahas oleh Dinas Kebudayaan," kata Pristono.
Sementara itu, guna mempermudah warga yang akan menikmati Kota Tua dengan berjalan kaki, saat ini di sepanjang Jalan Pintu Besar Utara di depan Museum Wayang dan Taman Museum Fatahillah telah dibangun jalur pedestrian yang telah memasuki tahapan penyelesaian akhir.
“Setiap kendaraan bermotor yang melintas di situ harus melaju dengan batas kecepatan maksimum 20 hingga 30 km/jam,” imbuh Pristono.
Secara terpisah, Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Muhammad Nakoem menyatakan, dewan meminta Dinas Kebudayaan dan Dinas Perhubungan untuk tetap menjaga keasrian Kota Tua.
"Pengoperasian angkutan wisata di Kota Tua jangan sampai merusak beberapa peninggalan sejarah Kota Tua itu," ucap Nakoem. [beritajakarta.com]
more
Revitalisasi Setengah Hati
Upaya Pemprov DKI Jakarta menjadikan Kota Tua menjadi kawasan wisata sepertinya tak kunjung maksimal. Meski sejumlah bangunan sudah direvitalisasi, di beberapa sudut Kota Tua masih ditemukan bangunan yang kumuh dan tak terurus.
Seperti sejumlah bangunan di sekitar Kafe Batavia dan Museum Fatahillah. Di tempat ini, banyak yang belum disentuh. Hal itu diperparah dengan banyaknya sampah yang bertebaran. Suasana kian tak nyaman dengan halaman museum yang terlihat gersang dan minim penghijauan.
Belum maksimalnya upaya revitalisasi juga bisa dilihat dari banyaknya pedagang kaki lima yang mangkal di sudut-sudut Kota Tua. Suasana tempo dulu juga sulit dinikmati dengan lalu lalang kendaraan roda dua yang dibiarkan melintas di jalan khusus bagi pedestrian (pejalan kaki). Kesan pengelolaan yang masih belum serius juga bisa dilihat dari lampu sorot di pinggir trotoar museum yang tetap menyala di siang hari.
Praktis, upaya menyedot turis menikmati kawasan ini belum maksimal. Padahal saat ini Pemprov DKI Jakarta sedang gencar mempromosikan progam Enjoy Jakarta;. Sesuai dengan namanya seharusnya obyek wisata yang dipromosikan harus mendapatkan perhatian dan perawatan khusus. Bukan saja lingkungan, tapi objek wisata sendiri masih belum bisa menarik perhatian turis baik domestik maupun asing.
Kawasan Kota Tua baru bisa dinikmati saat malam hari. Dengan suasana temaran lampu sorot, kesan tempo dulu sangat terasa di kawasan ini. Keberadaan Kafe Batavia sedikit banyak ikut menarik perhatian turis datang ke tempat ini.
"Sejumlah bangunan memang dalam keadaan kiritis. Kalau tidak cepat di pugar bisa saja roboh dan hancur kalau tidak diperbaiki," tutur Asep Kambali dari Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia. Hanya saja, sambung Asep, pemugaran saja dianggap tidak cukup. Agar kawasan ini bisa menarik minat turis, harus dibarengi dengan upaya menghidupkan suasan kawasan bersejarah itu.
"Bisa saja dijadikan wilayah hunian tanpa mengubah bentuk asli dan juga obyek wisata. Ataupun dijadikan hotel bergaya kolonial," sarannya. Hal itu diharapkan bisa merangsang minat turis untuk berkunjung.
Di sisi lain, pemilik bangunan di kawasan ini juga mengaku kalau mereka mau bekerjasama untuk merevitalisasi tempat itu karena sebagian besar bangunan bersejarah yang sudah rusak tak bisa direnovasi. Dia juga menganjurkan harus adanya sarana pedestrian yang bebas dari kendaraan bermotor. "Termasuk juga kelengkapan fasilitas publik lainnya, seperti restoran, hotel, sarana hiburan, toko suvenir, dan tempat ibadah," jelasnya.
Untuk menghidupkan suasana, harus ada pertunjukkan, baik pertunjukkan seni tari, musik, seni lukis, dan lain sebagainya, baik seni tradisional maupun seni modern dan dilakukan setiap hari atau setiap ada kunjungan wisata.
Ia juga menganjurkan disediakan berbagai makanan khas Jakarta sehingga wisatawan mengenal lebih lengkap Jakarta tempo dulu. (Indopos - aya)
more