[diunduh dari SahabatMuseum kiriman Kiki Suriki]
KASUS RENCANA PEMBUNUHAN MAKAR DI ZAMAN PENJAJAHAN
ditulis oleh: Junus Nur Arif
Suasana jalan Pangeran Jayakarta atau Jacatraweg di zaman belanda terasa angker. Diatas sebuah dinding di jalan itu, terpancang sebuah tengkorak batu yang ditusuk tombak. Pada dinding terpahat sebuah maklumat dalam Bahasa belanda dan Jawa. Isinya: larangan selama-lamanya untuk mendirikan bangunan ataupun menanam tumbuh-tumbuhan di tempat itu.
Monumen yang mengerikan itu dimaksud sebagai peringatan tentang peristiwa "Penghianatan" yang menurut versi colonial dilakukan seorang Indo Jerman bernama Pieter Erbervelt bersama orang-orang Indonesia. Istilah pengkhianatan sengaja ditulis antara tanda petik, sebab orang-orang Belanda pun kemudian sangsi, benarkah kejadian itu suatu pengkhianatan, ataukah sebuah proses ketidakadilan yang mencemarkan?
Kisah Erbervelt itu hidup terus selama dua abad dikalangan penduduk Jakarta sampai berakhirnya kekuasaan Belanda. Tempat tengkorak batu itu terpancang dinamakan Pecah Kulit.
Pengakuan Semu
Seorang sejarahwan Belanda, Prof. Dr. E.C.Godee Molsbergen menulis tentang peristiwa Erbervelt dalam De Nederlandsch Oostindische Compagnie in de Achtiende eeuw, yang termuat dalam buku sejarah Geschiedenis van Nederlands Indie, jilid empat, himpunan Dr. F. W. Stapel.
Menurut Prof. Dr. Godee Molsbergen, "Pada akhir desember tahun 1721, di masa pemerintahan gubernur Zwaardecroon, telah terbongkar sebuah komplotan yang dianggap amat berbahaya. Komplotan itu bertujuan membunuh semua orang kulit putih di Jawa dan menduduki Batavia. Mungkin sekali, karena berbagai keadaan pada masa itu, orang tak dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sengala rencana komplotan itu diperoleh dari hasil siksaan-siksaan. Apalagi 'Semua pengakuan' itu satu sama lain tidak cocok; misalnya tentang waktu rencana."
Dari tulisan itu jelas bahwa Molsbergen termasuk orang yang menyangsikan tentang kebenaran tuduhan dan keadilan hukuman yang dijatuhkan.
Tengkorak yang mengerikan itu kini sudah tidak ada lagi di jalan Pangeran Jayakarta. Masyarakat Jakarta sudah ingin menghilangkan pemandangan tak sedap itu sebelum perang. Menjalang meletusnya perang Pasifik, sebuah perkumpulan orang - orang Indo mengajukan permintaan untuk menyingkirkannya. Permintaan itu di tolak. Akhirnya penyingkiran tengkorak itu baru terlaksana setelah Belanda kalah melawan Jepang.
Riwayat Kejadian
Menurut Prof. Godee Molsbergen, orang pertama yang mengetahui tentang adanya komplotan itu adalah Reykert Heere, komisaris untuk urusan Bumi Putera.
Pada akhir tahun 1721 dalam suatu pesta cina, seperti biasanya orang ramai memasang petasan. Pada waktu itu memang ada larangan memasang petasan, tetapi larangan itu tak pernah di indahkan.
Sebuah petasan jatuh ke benteng Zeelandia tempat menyimpan mesiu. Untung petasan itu tidak menimbulkan bencana. Sebelumnya, pada bulan agustus 1721, terjadi suatu kebakaran besar di suatu lapangan penimbunan barang - barang perlengkapan. Kebakaran itu membawa kerugian besar.
Dengan adanya petasan jatuh di gudang mesiu benteng Zeelandia, terbersit dalam pikiran para penguasa colonial : tidakkah perbuatan itu disengaja? Adakah hubungannya dengan kebakaran bulan Agustus?
Bukti nyata tentang kejadian itu tidak pernah ada. Semua hanya dugaan dan hasil rekonstruksi dari pikiran yang curiga.
Kecurigaan itu timbul karena pada waktu itu komisaris urusan Bumi Putera, Reykert Heere, konon melihat gejala - gejala keonaran dalam masyarakat. Budak-budak dihasut. Dalam masyarakat beedar perdagangan jimat-jimat dari lempengan kuningan. Ketika diperiksa, penjual lempengan kuningan itu ternyata Piter Erbervelt.
Berdasarkan laporan 'orang - orang terpercaya' alias para polisi rahasia, segera dilakukan penangkapan. Penangkapan pertama terjadi atas 3 orang jawa, seorang Sumbawa bersama isterinya dan isteri salah satu dari ketiga orang jawa tersebut.
Raden Kartadriya
Seorang dari ketiga oaring Jawa yang ditangkap itu bernama Kartadriya dan bergelar Raden. Menurut laporan Reykert Heere, di rumah Kartadriya diketemukan 12 potong tembaga berukir lambing-lambang. Barang siapa memakai lempengan tembaga itu tidak akan mempan oleh tombak dan peluru. Ia akan menjadi sakti. Lempengan itu dijual seharga 1 schilling, sekeping.
Dari penjualan potongan tembaga sakti itu, Kartadriya mendapat hasil 100 ringgit. Dari jumlah itu dia hanya memperoleh keuntungan sebagian saja, selebihnya diserahkan kepada Pieter Erbervelt.
Disamping Kartadriya dan kawan-kawan diperiksa pula 2 orang anak lelaki dan perempuan. Si anak perempuan berumur 7 tahun, yang lelaki lebih muda lagi. Menurut laporan Reyker Heere tertanggal 29 Desember 1721, "anak-anak itu bisa menceritakan tindak tanduk majikannya".
Siapa Pieter Elbervelt?
Elbervelt seorang Indo dari ayah Jerman dan ibu wanita Siam. Ayahnya sebetulnya bernama Pieter Elberfelt, tetapi ia biasa memendekkan menjadi Ervelt. Ayah itu tadinya seorang penyamak kulit, yang kemudian terpilih menjadi wakil ketua Heemraad karena kaya dan pandai.
Dari ayahnya, Pieter Erbervelt mewarisi nama, kekayaan dan reputasi baik. Ia menikah dengan wanita baik-baik pula. Pada suatu ketika Pieter pernah berselisih dengan Dewan Heemradeen (collage van heemradeen) perihal tanah.
Pieter mewarisi tanah di Pondok Bambu dari ayahnya, tetapi tanpa akte. Pada tahun 1708 collage van heemradeen memutuskan bahwa tanah di Pondok Bambu itu harus dikosongkan. Bahkan Pieter diwajibkan menyerahkan 3300 ikat padi. Pada tahun berikutnya tanah itu dinyatakan sebagai milik kompeni oleh Gubernur van Hoorn, dan persoalannya ditutup.
Sejak itu Erbervelt tidak senang pada pemerintah Belanda. Sebaliknya pemerintah mengecamnya sebagai tukang bikin perkara bagi kompeni. Dari sinilah tumbuh bibit kecurigaan kompeni pada Erbelvelt.
Mengaku setelah disiksa
Tiga pekan setelah Erbelvelt ditangkap, collage van heemradeen Schepenen atau dewan pejabat tinggi negara mulai melakukan pemeriksaan. Seluruh tawanan berjumlah 23 orang. Erbelvelt, Kartadriya dan seorang Sumbawa bernama Layeek merupakan terdakwa utama. Dalam pemeriksaan ketiga terdakwa menyatakan diri tak bersalah
Landdrost (semacam jaksa) mempunyai jalan lain untuk membuat para terdakwa mengakui. Merek aharus disiksa. Dalam siksaan mereka pasti mengaku. Kartadriya mendapat giliran pertama, karena Heeren Schepenen masih menangguhkan tindakan itu bagi terdakwa pertama, Erbervelt.
Kartadriya digantungi timbangan. Anak timbangan pemberatnya terus menerus ditambah. Kemudian rambut kepalanya dipotong. Heeren Schepenen rupanya percaya, bahwa seperti halnya dengan perkara sihir, kekuatan seorang terdakwa untuk membisu terletak pada rambutnya. Semua usaha itu sia-sia sebab Kartadriya tetap bungkam. Penyiksaan lebih lanjut ditangguhkan.
Kemudian ganti terdakwa Layeek. Orang ini langsung mengaku karena tak kuat menahan siksaan. Menurut pengakuannya Elbervelt telah membujuknya untuk menyusun rencana pemberontakan bila rencana itu berhasil, Erbelvelt akan menjadi raja atau gubernur. Para anggota komplotan akan mendapat balas jasa menurut peran dan keberanian masing-masing dalam pemberontakan itu.
Baik Kartadriya maupun Erbelvert akhirnya mengaku salah karena tak tahan meghadapi siksaan yang makin kejam. Erbelvelt mengaku bahwa ia dibujuk oleh Kartadriya. Ia juga mengaku telah mendapat gelar 'Tuan Gusti" dari seoarang raja Bali sebagai tanda terima kasih atas pertolongannya dalam suatu kecelakaan laut.
Prof. Godee Molsbergen selanjutnya menulis bahwa Erbelvelt hanya atas mengaku saja. Ia mengatakan bahwa rencana komplotan itu disembunyikannya dalam sebuah peti yang tersimpan di lemari tua di rumahnya. Ia juga menyatakan telah mengadakan hubungan surat menyurat dengan putera Surapati. Ia pun menyebutkan sejumlah nama khayalan : 12 pangeran dan seorang pangeran dari Banten serta 13 pangeran dan 3 orang raden dari Cirebon.
Prof. Godee Molsbergen selanjutnya menulis, 'tetapi walaupun dicari dengan teliti, tak sepucuk suratpun diketemukan dalam sebuah kotak di almari tua di rumah Erbelvelt'.
19 orang dihukum mati
Setelah mendengar hasil pemeriksaan Erbervelt, pemerintah tinggi berpendapat bahwa "rencana sangat kabur dan tampaknya disusun tanpa permufakatan sedikit pun!".
Oleh karena itu pemerintah menginsrtruksikan kepada residen, bahwa mereka "dilarang melakukan pemeriksaan, menanyai atau minta keterangan apapun terhadap para pangeran, pejabat atau bangsawan Jawa" yang namanya disebut-sebut oleh para terdakwa dalam perkara Erbervelt.
Pemerintah tinnggi berpendapat bahwa dalam keadaan yang serba berubah-ubah berdasarkan keterangan para terdakwa. Kartasura, Banten dan Cirebon lebih baik dibiarkan dalam keadaan tak menentu dan meraba-meraba sendiri.
Ini sama sekali tak berarti bahwa para terdakwa bebas!
Dari 25 tertuduh, 19 dijatuhi hukuman mati. Semua tertuduh harus membayar ongkos perkara dan separoh dari harta benda mereka disita.
Menurut Prof Godee Molsbergen, hukuman yang dijatuhkan kepada Erbervelt dan Kartadriya sangat kejam, "seperti lazimnya pada waktu itu". Selanjutnya ia melukiskan pelaksanaan hukuman itu:
".punggung diikat pada sebuah salib, tangan kanan dibacok sampai putus, lengan dijepit, daging kaki dan dada dicungkil keluar. Tubuh lalu dibelah dari bawah ke atas. Jantung dikeluarkan dan dilemparkan ke wajah mereka. Kepala dipancung, badan-badan dipotong-potong lalu disebarakan di sekitar rumah kediaman mereka. Kepala mereka ditancapkan pada sebuah tonggak di sebuah tempat di luar kota menurut keputusan pemerintah. Maksudnya agar menjadi makanan burung-burung!"
Pelaksanaan hukuman mati itu disetujui sepenuhnya oleh Raad van Indie, yang menetapkan" bahwa hukuman yang diputuskan Heeren Schepenen harus dilaksanakan di lapangan sebelah selatan kasteel, dan tidak di depan gedung balai kota".
Harta milik Pieter Erbervelt, diantaranya sebuah rumah, kemudian dirobohkan. Di atas tempat itulah dipancangkan sebuah patung tengkorak di tembus ombak, serta maklumat yang melarang penanaman pohon dan tumbuh-tumbuhan untuk selama-lamanya.
Larangan itu bertanggal 14 April 1722, hukuman mati dilaksanakan 8 hari kemudian.
Pengadilan tidak wajar
Prof. Molsbergen menemukan banyak ketidakwajaran dalam proses pengadilan itu. Perkara penghianatan yang tergolong criman leasae majestatis - kejahatan terhadap yang dipermuliakan.- seharusnya diadili oleh Raad van Justitie, bukan oleh collage van heemraden.
Pelaksanaan hukuman mati tidak boleh disembarang tempat, tetapi harus di tempat yang biasa di pakai oleh raad van Justitie. Para terdakwa tidak diberi pembela. Harta milik para terdakwa tidak hanya disita separoh sebagaimana keputusan yang dijatuhkan, tetapi seluruhnya.
Setelah semua beres, Reykert Heere, komisaris urusan Bumi Putera yang merasa mendapat info pertama tentang "pengkhianatan" Erbervelt, minta balas jasa. Ia minta kenaikan pangkat dan akhirnya dinaikkan menjadim opperkoopman (pembeli tertinngi) dengan gaji F 100 sebulan. Pelaksanaan kenaikan menunggu persetujuan Heeren Zeventien, penguasa tertinggi VOC.
Masyarakat tidak terpengaruh
Dr. F. De Haan menulis di majalah periangan, bahwa pada tahun 1723, jadi setahun kemudian, anak perempuan Erbervelt yang bernama Aletta, bertunangan dengan pemuda dari keluarga baik-baik. Dari peristiwa itu Prof. Molsbergen menarik kesimpulan bahwa masyarakat tidak menggubris 'aib' dari hukuman mati Erbervelt
Setelah patung tengkorak beserta maklumatnya diangkat dari taman pecah kulit, maka kisah Pieter Erbervelt kini tersimpan di museum dan dalam kenagan para orang tua yamg menurunkannya secara turun-menurun. [Intisari, September 1968]
Tulisan lain :
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
test
0 comments:
Post a Comment