Kenangan akan Batavia

Mimpi Mengembalikan Keasrian Jakarta

Memasuki abad 21, Wajah Jakarta amat kontras dengan mimpi para pendiri Batavia yang hendak menjadikan bumi Batavia sebagai sorga yang nyaman untuk dihuni. Tapi kini, yang ada di hadapan warga Jakarta adalah sebuah tempat yang kumuh dan menyebalkan lantaran ditelikung oleh berbagai persoalan.

Koningin van het Oosten atau Ratu dari Timur. Itulah sebutan Batavia di abad 18. Pada abad itu, Batavia memiliki bangunan dan lingkungan kota indah bergaya Eropa.

Pada zaman pendudukan, Belanda terobsesi menjadikan kota Jayakarta sebagai Batavia, untuk mengenang suku bangsa Germania, yang disebut C.J. Caesar, dalam bukunya Bellum Gallicum (50 SM), yaitu suku bangsa Batavir yang menghuni daerah di sekitar mulut Sungai Rhein. Suku Batavir, dianggap leluhur orang Belanda.

Kota Batavia awal dibangun seperti kebiasaan Belanda, dengan jalan-jalan lurus dan parit-parit. Kali Besar yang semula berkelok diluruskan menjadi parit terurus dan lurus menerobos kota.

Di seberang Kali Besar dan kubangan yang menjorok ke barat laut didirikan Bastion (kubu) Culemborg untuk mengamankan pelabuhan. Menara Syahbandar didirikan di dalamnya. Di belakang tembok kota yang mulai berdiri dari Culemborg dan mengelilingi seluruh kota, dibangun berbagai gudang tempat menyimpan barang dagangan.

Kawasan Kali Besar pada abad ini merupakan daerah elit Batavia. Di sekitar kawasan ini dibangun Rumah Koppel yang dikenal sebagai Toko Merah, karena balok, kusen dan papan dinding di dalamnya dicat merah. Kala itu, Kali Besar, meski bangunan-bangunannya menjulang, tetap ramah lingkungan.

Di sepanjang Kali Besar berdiri bangunan-bangunan bergaya Eropa. Ada bangunan bertingkat dengan satu atap berbentuk lingkaran. Bangunan kokoh itu dihiasi dengan banyak jendela. Ada tiang-tiang bulat sebagai penyangga. Bangunan ini memiliki pintu berbentuk oval, seperti gaya gothic Eropa.

Di samping bangunan itu berdiri bangunan-bangunan lain yang tidak kalah unik. Rumah-rumah sepanjang Kali Besar ini dibangun dengan konsep Eropa pula. Di sepanjang barisan bangunan itu pintu-pintu oval mendominasi bentuk yang ada. Tidak ada tiang listrik atau tiang telepon yang berdiri di pinggir sungai atau depan rumah-rumah bergaya klasik itu.

Di depan bangunan tersebut terdapat jalan tanah yang lengang. Beberapa gerobak pengangkut barang membawa dagangan untuk disimpan di gudang seberang sungai. Di dalam sungai, kita bisa melihat bayangan rumah-rumah bergaya Eropa itu dengan jelas, bahkan dengan warna yang sebenarnya.

Di atas sungai yang airnya jernih mengalir, ada sebuah jembatan yang menghubungkan bangunan-bangunan bergaya Eropa itu dengan gudang dan Bastion Culemborg. Selain sebuah jembatan, ada pula beberapa sampan yang tertambat di tepi sungai. Di tepi sungai, hanya ada rerumputan yang meninggi, bersih dari sampah.

Batavia tinggal kenangan

Kini, bangunan bergaya Eropa dengan pintu oval dan atap bundar itu memang masih ada. Begitu pula dengan rumah-rumah di sampingnya. Bedanya, kini kondisinya semakin renta. Banyak detil-detil bangunan yang mulai usang. Beberapa kaca pecah diganti dengan kaca yang tersedia di zaman sekarang. Banyak kabel yang mengelilingi bangunan, mulai kabel listrik, telepon dan kabel lainnya. Pengadaan AC sedikit merusak bentuk klasik dengan kotak-kotak kotor dan bising.

Jalanan depan bangunan-bangunan kini telah beraspal. Jalan itu kini juga sudah padat dengan berbagai kendaraan roda dua, tiga, empat atau lebih, yang mengangkut berbagai barang atau orang.

Jakarta kini, sudah mirip kapal besar yang kelewat banyak mengangkut beban. Lihatlah, tiap kali usai lebaran, berbondong-bondong kaum urban kembali ke Jakarta sambil membawa saudara-saudara mereka untuk mencari penghidupan di Jakarta.

Belum lagi banyaknya kendaraan yang menyemburkan asap yang berputar-putar di daerah ini. Selain asap, sampah yang entah dari mana muncul di sepanjang jalan. Meski ada petugas pembersih sampah, tetap saja sampah datang silih berganti.

Tak cuma jalan yang semakin padat, sungai pun kian hari kian mampat oleh sampah rumah tangga dan industri. Jernihnya Kali Besar tiga abad lalu berganti legam. Bahkan untuk melihat bayangan bangunan saja sulit. Sungai yang seharusnya mengalir, tampak diam, berat dengan sampah di dalamnya.

Sibuknya kehidupan Jakarta membuat keindahan Batavia tiga ratus tahun lalu terlupakan. Keindahan itu kini tertutup debu dan asap yang membuat udara Jakarta semakin sesak dan panas.

Mimpi mengembalikan keasrian kota Jakarta

Pada tahun 2001, oleh keprihatinan atas kota Jakarta yang kian kumuh, muncullah perkumpulan kota tua yang hendak melestarikan keberadaan kota tua di Jakarta.

Namun, perkumpulan ini akhirnya bubar tanpa diketahui penyebabnya. Pada tahun 2004 dibentuk Jakarta Old Town Kotaku (JOK) dengan harapan berbagai pihak dapat saling bersinergi dalam upaya membangun kembali aura pelestarian kota tua.

Dalam konferensi pers Program Revitalisasi Old Batavia, 9 Desember 2004, di Gedung Bank Indonesia Kota, Ketua JOK, Miranda S. Goeltom mengungkapkan, kawasan Jakarta Kota ini akan menjadi tujuan wisata yang diminati wisatawan bila lingkungannya nyaman, bersih, hijau dengan bangunan-bangunan tua peninggalan sejarah yang terawat baik.

Program yang secara resmi diluncurkan tanggal 12 Desember 2004, merupakan program pertama Jakarta Old Town Kotaku. Jakarta Old Town merupakan sebuah perkumpulan pemerhati bangunan-bangunan tua Jakarta yang berinisiatif untuk mengembalikan kejayaan bangunan-bangunan tua dan menghidupkan kembali kehidupan nyaman di sekelilingnya.

Inisiatif ini dimulai melalui program kecil ramah lingkungan berupa pembersihan Kali Besar. Pembersihan ini penting sebagai upaya jangka panjang dalam meningkatkan kualitas lingkungan daerah tersebut dan sebagai program pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.

Revitalisasi dilanjutkan dengan konservasi Gedung Bank Indonesia Kota, yang akan dialihfungsikan menjadi Museum Bank Indonesia. Museun ini didirikan untuk menyosialisasikan kegiatan Bank Indonesia, sebagai sarana edukasi dan rekreasi. Konservasi atau pengembalian seperti aslinya ini akan dimulai pada 2005 dan diharapkan selesai 2006. Diperkirakan pertengahan 2007 museum Bank Indonesia ini akan dapat dibuka.

Revitalisasi Old Batavia bukan hanya menjaga keberadaan gedung-gedung tua, tetapi juga menempatkannya dalan lingkungan fisik dan non fisik yang menunjang. Untuk mewujudkan revitalisasi tersebut, pasti harus ada campur tangan Pemda DKI, sebagai pemerintah yang melingkupi daerah Jakarta Kota.

"Kami dari Jakarta Old Town Kotaku dan juga pemerintah DKI mengharapkan kawasan ini kembali menjadi pusat bisnis, pusat budaya, tempat tinggal dan nyaman untuk melakukan segala aktivitas sosial seperti halnya yang terjadi pada zaman dahulu di kawasan ini," ungkap Shanti L. Poesposoetjipto, Wakil Ketua JOK.

Selain JOK dan pemerintah DKI, Shanti menyebut, ada pemangku kepentingan sekitar Jakarta Kota yang harus dilibatkan, di antaranya, pemilik, pengguna, pemerhati dan orang-orang yang memiliki kedekatan sejarah dengan wilayah daerah Jakarta Kota.

Untuk menyukseskan program ini ditandatangi MoU dengan pihak-pihak pengelola dan pengguna bangunan tua, untuk turut serta melakukan program revitalisasi dan konservasi.

Shanti mengungkap, bangunan-bangunan tersebut akan diperluas penggunaannya, tidak hanya sebagai museum, tetapi juga membuka peluang bisnis bagi usahawan, membuka retail, restoran dan bisnis lain yang dapat disandingkan dengan keberadaan Old Batavia ini.

Penyelesaian keseluruhan program ini belum dapat diperkirakan. Bila program ini berhasil, kita dapat melihat sisi lain kota Jakarta. Di kota Jakarta akan terhampar bangunan-bangunan tua di sekeliling kehidupan kota yang ramai dengan kaki lima dan warung-warung yang terpusat dan teratur rapi. Kita dapat bersantai di sepanjang jalan di Jakarta Kota tanpa takut tertabrak kendaraan atau terimbas polusi suara maupun udara. Hmmmm, alangkah nyamannya. (M3/jodhi yudono - Kompas)

0 comments:

test