03 Menara Syahbandar

Menara Syahbandar Pernah Menjadi Kilometer 0 Jakarta

Menjulang di tengah hiruk-pikuk Pasar Ikan dan Pelabuhan Sunda Kelapa, berdirilah bangunan kolonial Menara Syahbandar yang dibangun Belanda tahun 1834. Beberapa pucuk kanon mengawasi dari arah barat dan timur Menara Syahbandar yang di masa lalu berfungsi memandu keluar-masuk kapal ke Batavia sebelum Pelabuhan Tanjung Priok dibuka. [foto tahun 1910]

Sebuah tugu berdiri di pelataran antara Menara Syahbandar dan gedung administrasi pelabuhan zaman Belanda. Prasasti di tugu yang ditandatangani Gubernur Jakarta Ali Sadikin tahun 1977 itu dijadikan penanda Kilometer 0 di masa lalu.

Memang, secara geografis, Menara Syahbandar di masa silam menjadi patokan titik 0 Kota Jakarta. Michsan (53), penjaga Menara Syahbandar, menjelaskan, di lokasi tersebut menjadi titik awal berkembangnya Kota Jakarta.
Akan tetapi, kemudian titik Kilometer 0 dipindah ke Monumen Nasional. Kapan persisnya pemindahan itu, Michsan mengaku tidak tahu-menahu.

Meski demikian, nilai sejarah tempat itu masih menjadi daya tarik bagi pengunjung kawasan Kota Tua Jakarta. Kawasan sekitar Menara Syahbandar memang menyimpan segudang cerita kejayaan masa lalu. [foto tahun 1946]

Tepat di sebelah selatan menara terdapat Kafe VOC Galangan yang di masa lalu merupakan galangan kapal Serikat Dagang Hindia Timur Belanda (Verenigde Oost Indische Compagnie). Lokasi itu sebelumnya merupakan kediaman Pangeran Jayawikarta penguasa Jayakarta dan loji Inggris, yang kemudian dihancurkan Belanda tahun 1619 saat merebut Jayakarta. Kemudian Belanda menamakan Jayakarta sebagai Batavia.

Dan tepat di seberang timur Kafe VOC Galangan merupakan perkubuan Belanda yang kini menjadi bangunan bioskop yang sudah tutup. Kubu tersebut merupakan benteng Mauritius dan Nassau yang kemudian berkembang menjadi perkubuan Jakarta.
Kini sisa tembok benteng abad ke-17-18 masih tersisa di sekitar kawasan tersebut. Lokasi yang paling mudah ditemui adalah di sekitar Museum Bahari.

Salah satu saksi bisu perkubuan Belanda adalah pintu besi di bawah Menara Syahbandar yang, menurut Michsan, menyambung ke dalam lorong bawah tanah menuju Masjid Istiqlal. Semasa penjajahan, lokasi yang menjadi Masjid Istiqlal sekarang adalah benteng Belanda.
"Setiap hari ada puluhan orang berkunjung ke sini untuk menapak tilas. Bahkan, dalam kondisi sekarang ini masih ada belasan turis asing datang," papar Michsan.

Sayang, meski menjadi tujuan wisata, tempat itu kurang terawat. Sejak beberapa bulan terakhir toko suvenir dan kantor administrasi pelabuhan zaman Belanda itu kini tidak digunakan. Bahkan, sebagian besar atap bangunan bocor di waktu hujan. Demikian pula beberapa konstruksi kayu di Menara Syahbandar sudah lapuk. [foto tahun 2006]

Bangunan di sebelah menara yang dijadikan tempat tinggal Michsan sekeluarga juga tidak luput dari lapuk dan bocor di sana-sini.
Michsan menyebutkan, terakhir kali bangunan itu diperbaiki pada tahun 2004. Kini sehari-hari Michsan, pegawai honorer yang sudah bekerja sepuluh tahun itu, hanya bisa membersihkan pelataran sekeliling kompleks Menara Syahbandar. Sayang memang, satu per satu jejak sejarah awal mula Jakarta modern semakin terlupakan dan terabaikan.

Padahal, hanya sepelemparan batu dari Menara Syahbandar menjadi tempat kembalinya Soekarno ke Batavia pada awal 1942 untuk memimpin pergerakan Indonesia semasa penjajahan Jepang. Ayunan langkah pertama kembalinya Bung Karno di Batavia dimulai dari titik 0 di kawasan tersebut. (teks: Iwan Santosa - Kompas 22 Agustus 2006 — foto: berbagai sumber)

2 comments:

Jakarta Punya said...

Aduuhh, menyedihkan sekali kalau lihat bangunan2 bersejarah di Indonesia. Bung Karno pernah bilang, Bangsa yg besar adalah bangsa yg menghargai jasa para Pahlawannya (trmsk melestarikan bangunan2 bersejarah), tp lht sndri?!!

Biar masyarakat yang berkomentar..

Andi Bunga said...

numpang copy ya artikel nya :)

test