Arief Budiman:
Jangan Bingung Ketika Jakarta Tanpa Gedung Bersejarah
TIDAK banyak yang berubah pada diri Arief Budiman (63) tatkala ditemui Kompas di ruang kerjanya yang bersih di kampus The University of Melbourne, Australia, Sabtu (21/8). Mantan demonstran yang pernah "tidak disukai" rezim Soeharto ini tetap sederhana, kritis, dan penuh semangat. Di Melbourne, ayah dua anak dan kakek empat cucu ini ke mana-mana selalu naik trem. Tetapi untuk jarak dekat, misalnya dua setengah kilometer, Arief lebih suka berjalan kaki.
TENTANG situasi Indonesia saat ini, Arief misalnya mengemukakan kejengkelannya karena pascarezim Soeharto praktik korupsi bahkan kian subur, para pejabat makin tamak, sedang masalah- masalah sosial, seperti penggusuran warga marjinal di Jakarta dan pengusiran pedagang kaki lima, makin tidak terkendali.
Arief berharap pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden-wakil presiden akan membawa iklim lebih baik bagi Indonesia. Korupsi diberantas dan pemerataan kesejahteraan bagi rakyat memperoleh perhatian lebih besar.
"Anda masih golput?"
Arief tertawa mendengar pertanyaan ini. "Kalau masih golput, ya tidak pas lagi. Dulu saya dan kawan-kawan memilih golput di antaranya karena di era rezim Soeharto partai dibatasi dan demokrasi yang diteriakkan sangat semu. Hasil pemilihan umum pun Anda tahu sendiri seperti apa. Namun, sekarang persoalannya berbeda, apalagi pemilihan presiden, sekadar menyebut contoh dilakukan secara langsung," kata Arief.
Terlepas dari persoalan-persoalan tersebut, Arief kemudian bercerita tentang minatnya yang dalam pada masalah kota tua Jakarta serta gedung-gedung bernilai sejarah yang tersebar di berbagai provinsi. "Lihatlah Gedung Harmonie tak jauh dari Istana, dihancurkan tanpa perasaan sama sekali. Ada juga hotel yang letaknya tak jauh dengan Harmonie, bernasib sama. Saya khawatir, kalau nafsu meruntuhkan gedung-gedung bersejarah ini berlangsung, bangsa ini akan kehilangan jejak sejarah, lalu bingung sendiri," katanya.
Ia lalu memperlihatkan sejumlah bukunya yang secara jelas menunjukkan gedung-gedung bersejarah dan kawasan kota tua Jakarta yang dibangun dengan gaya arsitektur menawan.
Berikut petikan wawancara dengan Arief Budiman.
Apa yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan gedung-gedung bersejarah di Jakarta?Hal yang perlu ditekankan adalah ikhtiar penyelamatan itu mesti dilakukan secara terencana, terarah, dan terpadu. Misalnya, kaum intelektual yang mempunyai reputasi, pribadi- pribadi, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang ini berkampanye tiada henti untuk mendorong eksekutif dan legislatif memerhatikan hal tersebut. Di forum lain, media massa cetak dan elektronik memainkan peran aktif menyajikan berita atau feature ihwal masalah kota tua dan gedung bersejarah.
Jika kampanye berjalan baik, dan salah satu indikasinya adalah munculnya desakan amat kuat penyelamatan kota tua Jakarta, maka pihak eksekutif pasti akan bertindak. Akan tetapi, jika dalam kondisi demikian eksekutif masih tetap tidak bersedia mengambil tindakan, maka DPRD DKI harus turun tangan mendesak eksekutif, dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso melakukan terobosan penting penyelamatan kota tua.
Tetapi jika DPRD pun tidak mau mengambil tindakan tersebut, maka masyarakat, kaum intelektual yang punya reputasi baik di masyarakat, pers, dan LSM perlu melakukan pressure yang sepatutnya guna menekan DPRD. Jika perlu, masyarakat dan para pemerhati kota tua/ gedung bersejarah melakukan pressure atas DPR agar mendesak eksekutif dan legislatif DKI Jakarta memerhatikan kota tua tersebut. Tetapi biasanya, kalau publik sudah meneriakkan sesuatu secara berantai, DPR dan DPRD "membeli" isi teriakan itu.
Mengapa Anda memasukkan DPR dan DPRD DKI sebagai institusi yang mempunyai peran penting mendesak Gubernur Sutiyoso?
Bukan cuma DPR dan DPRD, tetapi partai juga. Mari kita mengakui bahwa DPR dan DPRD, juga partai, mempunyai pengaruh yang lebih besar. Kontrol yang mereka lakukan terhadap eksekutif cukup berpengaruh. Jadi, saya sungguh berpikir tentang efektivitas gerakan penyelamatan gedung tua itu.
Kalau ada yang bertanya, bagaimana kalau DPRD enggan melakukan tekanan pada gubernur, dan bahkan "bersatu" dengan gubernur, saya secara tegas mengatakan jangan khawatir. Rakyat makin kritis. Anggota DPRD yang dianggap tidak pro-rakyat, tidak akan dipilih lagi. Mereka pun akan dicemooh. Mana tahan anggota DPRD dicemooh terus?
Apa pesan moral gerakan penyelamatan kota tua dan gedung bersejarah ini?
Anak muda akan sadar akan sejarah mereka, dan tak mengabaikan sejarah masa lalu. Anak muda akan tahu bahwa Jakarta dibangun dari kampung-kampung kecil. Jakarta yang serba modern di banyak tempat, sebelumnya dalam bentuk yang amat sederhana. Tetapi jangan keliru, kalau saya menyampaikan hal ini, bukan berarti saya mengultuskan masa lalu, tetapi agar kita tak mengabaikan sejarah. Coba lihat pula bentuk arsitektur bangunan-bangunan itu, demikian menawan.
Mengapa selama ini masalah kota tua dan gedung bersejarah itu terkesan kurang memperoleh perhatian?
Kita mesti mengakui bahwa semua terbenam dengan masalah dan kesibukannya masing-masing. Pemerintah dan masyarakat kita terpukau kepada masalah berat yang secara langsung menghadang di depan mata. Misalnya masalah kelaparan, naiknya harga minyak, ekspor yang menurun, bencana alam, melemahnya mata uang rupiah, dan sebagainya. Sementara itu, masalah kota tua atau gedung-gedung bersejarah tersebut "tak langsung mengancam", tidak menghadang kehidupan secara fisik dan "efeknya masih lama".
Jika pun ada yang mempertanyakan, maka jawaban dari kalangan eksekutif bisa begini: Kok bicara tentang kota tua? Kita lebih baik bicara yang di depan mata dulu, misalnya tentang kelaparan, penggusuran, maraknya korupsi, dan sebagainya".
Akan tetapi, begitu satu per satu bangunan tua tersebut rata dengan tanah, barulah kita bingung dan ribut. Rasanya kok sayang sekali kalau gedung seperti itu sampai hilang. Atau dalam contoh yang lebih dekat bisa begini. Kita punya anak kecil, yang selalu kita tekan berlebihan kalau keliru. Atau kita larang naik sepeda meski sudah berumur 14 tahun. Ketika besar, anak itu menjadi anak yang penakut dan minderan. Masalahnya memang seperti jadi abstrak, tetapi begitulah kalau kita mengabaikan masalah yang tampaknya "efeknya lama".
Maka, saya kira intelektual yang punya reputasi perlu selalu meneriakkan hal seperti ini. Perlu juga aktivis pencinta kota, sebutlah Marco Kusumawijaya dan kawan-kawannya yang selalu meneriakkan upaya penyelamatan.
Bagaimana tentang pihak yang tidak setuju gedung peninggalan kolonialisme?Begini, kita sangat tidak suka kolonialisme sehingga kita lawan semua praktik kolonialisme. Akan tetapi, kita mesti melihat benda-benda atau peninggalan itu dalam bentuk lain. Anda lihat betapa bagus Istana Negara, Departemen Keuangan, Gedung Arsip, gedung-gedung di kawasan Taman Fatahillah, dan sebagainya. Apa perlu dirobohkan? Ah, yang benar saja. Oleh karena itu, saya mendesak Gubernur DKI Jakarta untuk menerbitkan buku tentang sejarah dan latar belakang sebuah gedung. Bikinlah semacam buku guide tentang itu berikut foto-fotonya. Pasti akan menarik minat orang.
Ke depan, gedung itu diperkenalkan kepada publik dan masyarakat, termasuk para pelajar. Mereka menjadi tahu sejarah dan latar belakang gedung-gedung tua itu. Lalu ada semacam estafet pengetahuan suatu gedung secara turun temurun. Bagi saya, hanya bangsa yang mencintai sejarahnya yang bisa menjadi bangsa yang besar.
Bagaimana di negara lain, misalnya Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa?
Bangsa-bangsa ini pandai merawat peninggalan masa silam. Anda ke Washington akan menemukan gedung yang dipelihara sejak sekian abad silam. Di Paris, Berlin, Amsterdam, juga demikian.
Tentang menghargai sejarah, saya punya pengalaman. Ketika ke Paris saya menemukan suatu prasasti yang dipasang di lantai, yang bisa digunakan orang untuk lalu lalang. Di prasasti kecil itu tertulis tentang gugurnya orang yang berani melawan tentara Nazi yang kejam. Saya sampai merinding membaca tulisan di prasasti itu, sebab menemukan betapa besar penghargaan Paris terhadap orang berani, misalnya.
Perjuangan membela kota tua akan memakan waktu lama?
Bisa cepat, bisa lambat, tergantung seperti apa perjuangan yang dilakukan.
Untuk jangka pendek?
Kalau ada gedung tua hendak diubah bentuknya atau bahkan diruntuhkan, maka jalan yang baik adalah langsung maju ke depan, menghalau penghancuran itu. Misalnya begini, tiba-tiba ada gubernur yang tidak mempunyai sense of history, hendak meruntuhkan gedung arsip untuk dibanguni gedung sekian lantai. Para aktivis atau warga yang mencintai sejarah dan bangunan tua harus segera melakukan tindakan yang perlu agar gedung tak dirobohkan. Kita meski berjaga agar gedung tua tidak diruntuhkan, apalagi untuk ancaman ekspansi pembangunan ekonomi, atas nama modernisasi. Selama ini keberadaan gedung tua, termasuk di kota tua Jakarta, kalah oleh kepentingan prakmatisme.
Bagaimana Anda melihat kinerja Sutiyoso?
Beberapa teman saya menyebut Sutiyoso kadang-kadang tidak mendengar pandangan orang lain. Terlepas dari itu, saya melihat ia sebetulnya punya konsep terutama dalam mengurai persoalan kemacetan di Jakarta. Orang boleh marah pada Gubernur Sutiyoso karena membuat busway dan karena itu mengurangi satu lajur jalan, tetapi bagi saya suka tak suka itu salah satu cara mengatasi persoalan lalu lintas, bahwa publik mesti menggunakan transportasi umum. Sekarang ia membangun monorel, yang saya pikir lebih bagus lagi.
Bagaimana Anda melihat kinerja Sutiyoso yang lain?
(Tertawa). Banyak juga yang saya kurang setuju. Misalnya, cara dia menangani persoalan penggusuran orang miskin, penanganan pedagang kaki lima, dan membiarkan sungai demikian kotor. Bagi saya, penggusuran orang miskin merupakan indikasi dari melemahnya komitmen kepada orang-orang berpendapatan rendah. (Abun Sunda) KOMPAS
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
test
0 comments:
Post a Comment