Wisata Sejarah yang Merana
Mohammad Hoesni Thamrin (MH Thamrin) sepertinya identik dengan Kota Jakarta. Almarhum yang lahir di Batavia (Jakarta), 16 Februari 1894 dan meninggal di kota yang sama 11 Januari 1941 termasuk salah seorang tokoh masyarakat Betawi.
Hingga kini jasa-jasanya masih tetap dikenang dan abadi dengan kehadiran sebuah Museum MH Thamrin. Gedung museum ini merupakan warisan dari almarhum yang sengaja dihibahkan oleh keluarga almarhum. Namun lokasi museum kurang menguntungkan karena berada tepat di tengah komunitas Pasar Kenari yang dikenal sebagai pusat penjualan berbagai alat elektronik, peralatan teknik dan sebagainya. Sebagai tempat transaksi bisnis, kawasan itu tentu saja tak terlepas roda kebisingan dan kemacetan lalu lintas akibat padatnya kendaraan bermotor.
Inilah salah satu kendala menuju Gedung Mohammad Hoesni Thamrin yang diresmikan sebagai museum nasional, 11 Januari 1986 oleh Gubernur DKI (waktu itu) R Soeprapto. Sebelumnya tahun 1972, gedung ini ditetapkan sebagai bangunan bersejarah. Bangunan yang masuk dalam peta cagar budaya di wilayah pemerintah DKI Jakarta ini, secara admisnistratif masuk dalam satu pengelolaan dengan Museum Joang'45.
Dari Jalan Kramat Raya menuju ke lokasi museum di Jalan Kenari II/15, Senen, Jakarta Pusat hanya berjarak kurang lebih 300 meter. Namun rintangan utama adalah arus lalu lintas yang sering tersendat lantaran banyaknya mobil yang diparkir. Di samping itu, para pedagang kios seenaknya memarkir barang dagangannya di luar batas area sehingga mengganggu arus lalu lintas.
"Pernah ada bis yang membawa anak-anak sekolah menuju ke lokasi museum. Tapi rombongan itu terpaksa membatalkan kunjungannya karena bis tidak bisa lewat melintasi jalan sempit," papar Kepala Museum Joang, Dra Hj Nanny Ophir Yani, Msi di Jakarta, baru-baru ini.
Diakui Nanny, pengunjung museum sangat memprihatinkan dan tidak seperti yang diharapkan. Padahal pihaknya sudah memperkenalkan museum ini ke sekolah-sekolah. Namun tetap tidak mendapat respon sesuai harapan karena kendala kemacetan lalu lintas dan kesulitan menuju areal museum itu. Nanny pun secara khusus sempat mempertanyakan, apakah generasi sekarang tidak mengenal siapa itu Muhammad Hoesni Thamrin. Padahal tokoh kenamaan ini adalah penduduk Jakarta, yang pantas dihormati.
Baru-baru ini pihaknya melakukan penyuluhan di beberapa sekolah dasar. Namun hingga sekarang belum diketahui hasilnya. Meskipun ada anak-anak sekolah yang berkunjung ke museum ini, tetapi praktis jumlahnya sangat terbatas. "Memang, museum ini tidak menarik karena sulit dijangkau akibat kepadatan lalu lintas," ujarnya.
Menanggapi keluhan ini, Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta Ir Aurora Tambunan Msi memberikan solusi bahwa masalah ini harus dicarikan jalan keluar agar keberadaan Museum MH Thamrin menjadi salah satu obyek wisata sejarah yang menarik untuk dikunjungi wisatawan. Aurora pun memberikan solusi berupa jalan alternatif menuju museum tersebut.
"Seandainya masuk dari depan banyak rintangan maka pengunjung bisa melalui jalan alternatif dari pinggir Kali Ciliwung yang bisa tembus ke Jalan Raden Saleh atau samping RSCM," kata Aurora pula. "Namun saat ini jalan itu memang masih bermasalah karena sempit di tengah padatnya perumahan warga," ujarnya pula.
Menurut Aurora, untuk membuat jalan tembus menuju museum MH Thamrin maka harus dilakukan penggusuran terhadap rumah warga yang menempati tanah milik DKI seluas 1.000 meter persegi. "Tanah milik DKI itu bisa sebagai jalan alternatif untuk memperlebar jalan di belakang museum," ujar Aurora.
Benda-benda yang masih tersimpan dalam Museum MH Thamrin pun sangat minim. Di antaranya beberapa peninggalan MH Thamrin sumbangan putri angkat almarhum D Zubaidah berupa lemari, meja rias dari marmer, piring keramik, dipan kayu, replika meja keluarga, meja beranda, radio untuk mendengar informasi dari luar negeri berketinggian sekitar satu meter dan lebar sekitar 80 cm, radio ukuran sedang dan blangkon.
Juga tersimpan sepeda kuno yang di bagian poros jari-jari depan terpasang bendera Merah Putih ukuran kecil. Selain itu ada diorama yang menggambarkan MH Thamrin mengenakan setelan jas putih lengkap dengan dasinya sedang berdiri dalam rapat di Geementeraad Batavia (Dewan Kota Praja). Almarhum saat itu pernah melontarkan gagasan, antara lain upaya untuk memperbaiki perkampungan kumuh di Kota Batavia. Ia juga melahjirkan kebijakan atas pengelolaan air bersih di kawasan Pejompongan. Faktanya, ide ini sudah terwujud dan telah memacu Pemda DKI untuk membangun kota Jakarta melalui proyek MH Thamrin.
Di dalam ruangan museum juga terdapat biola WR Soepratman dan teks konsep lagu Indonesia Raja terdiri dari 6 bait karangan WR Soepratman. Kemudian ada pula perangko Muhammad Hoesni Thamrin (1894-1941) senilai 250 sen dan perangko Abdul Moeis senilai 200 sen.
Selain itu ada foto Thamrin waktu kecil, dan foto-foto perjuangan tokoh Betawi ini hingga ke pemakaman beliau di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet. Dalam foto tersebut terlihat banyak pengantar ikut melayat ketika almarhum akan dimakamkan.
Yang menarik, terdapat pula salah satu lukisan yang menggambarkan saat MH Thamrin terbaring sakit di tempat tidur didampingi sang istri Otoh Arwati. Sementara opsir Belanda menggeledah kamarnya. Sesuai kisah ceritanya, dalam keadaan sakit Thamrin dikenakan tahanan rumah sejak 6 Januari 1941 karena dituduh bekerja sama dengan Jepang. Namun beberapa hari kemudian tepatnya tanggal 11 Januari 1941, MH Thamrin menghembuskan nafas terakhir.
Benda-benda milik museum MH Thamrin ini, kini tertata rapi dan dipamerkan dalam Pameran Foto MH Thamrin yang berlangsung 20 - 30 Juni 2006. Menurut Nanny, sebagian foto pameran ini diperoleh dari internet luar negeri, khususnya negeri Belanda. (Suara Karya)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
test
0 comments:
Post a Comment