Koridor Sejarah

Mimpi yang Selalu Tertunda
Pingkan elita dundu

Monumen kebanggaan sebuah kota merefleksikan kebesaran peradaban sebuah bangsa. Mengekspresi simbolik jiwa atau roh, jati diri, karakter, serta dignity bangsa tersebut. Kebesaran masa lalu adalah sumber inspirasi bagi sebuah bangsa, dimanifestasi secara fenomental dalam pembangunan kota.

Bagi orang daerah, rasanya belum ke Jakarta sebelum mengunjungi Monas. Dikatakan demikian karena Monas memang diakui dan selalu menjadi obsesi rakyat Indonesia untuk mengunjunginya.

Sebagai tengara Jakarta, Monas memiliki nilai historis. Ia merupakan manifestasi kebangkitan bangsa Indonesia. Monas bukanlah semata monumen kemerdekaan, tetapi monumen yang diperhitungkan dalam dunia ketiga Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Boleh dikatakan, hampir tidak ada atau sulit untuk menemukan tengara lain yang mempunyai jiwa yang sama untuk menyemangati nasionalisme selain Monas.

Padahal, kalau mau jujur, di kota ini sangat banyak peninggalan yang ikut memengaruhi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sebut saja Museum Bahari dan Pelabuhan Sunda Kelapa yang letaknya berdekatan.

Akan tetapi, kondisi bangunan tersebut tidak mendukung. Sangat terpuruk, kumuh, dan tak terawat. Air laut mudah masuk ke kawasan itu.

"Kawasan Sunda Kelapa dapat dijadikan tengara karena dari titik inilah sejarah berkembangnya Jakarta dimulai," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta Aurora Tambunan dalam diskusi ini.

Sunda Kelapa
Menoleh ke belakang, Sunda Kelapa sebenarnya sudah menjadi kota pelabuhan yang banyak dikunjungi oleh saudagar mancanegara pada abad ke-16. Pada tahun 1527, pelabuhan itu dikuasai pasukan gabungan Cirebon-Demak yang dipimpin Fatahilah. Sejak itulah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Sayangnya, hanya bertahan sampai 92 tahun, selanjutnya dikuasai oleh VOC Belanda.

Dalam pertumbuhan kota pelabuhan Sunda Kelapa terdapat empat siklus perkembangannya, yakni era Hindu, Islam, Kolonial, dan Kemerdekaan. Pelabuhan Sunda Kelapa sudah dikenal pada abad ke-14, zaman kerajaan Tarumanegara.

Garis pantainya kalau sekarang kira-kira di sekitar jalan tol pelabuhan. Setelah menjadi Jayakarta, pada masa Wijayakrama garis pantainya maju 300 meter ke utara. Kira-kira sekarang di Jalan Pakin, samping Menara Miring atau Menara Syahbandar. Pada abad ke-18, zaman kolonial, garis pantainya maju sekitar 80 meter, di kawasan Pasar Ikan (sekarang). Saat ini garis pantai kota tua Sunda Kelapa sudah di ujung Muara Baru, atau maju sekitar 4 kilometer karena reklamasi pantai.

Asal mulanya kota tua itu semakin terpuruk adalah revolusi industri. Kapal yang berlayar bukan lagi kapal layar, tetapi kapal mesin dengan kapasitas bongkar muatnya yang lebih tinggi. Kota pelabuhan akhirnya ditinggalkan.

Revolusi industri yang bersanding dengan ilmu pengetahuan diikuti dengan pembangunan transportasi mengakibatkan kota tua menjadi terpenggal-penggal. Setelah ditinggalkan, kota tua menjadi semakin kumuh. Orang miskin masuk dan tinggal di kawasan itu. Pelabuhan tua menjadi beban ekonomi kota. Selain itu, juga kumuh, macet, polusi, dan kriminalitas tinggi. "Dari sisi sejarah itulah Sunda Kelapa bisa menjadi tengara Jakarta," kata Aurora Tambunan yang akrab disapa Lola.

Konsep pelestarian
Sekitar lebih dari 30 tahun lalu, gagasan pembangunan koridor sejarah Jakarta sudah pernah ada. Ketika Gubernur DKI dijabat Ali Sadikin (sekitar tahun 1970), rencana revitalisasi kota tua sudah mencuat.
Berkali-kali gubernur berganti, gagasan revitalisasi kota tua (sebagai bagian dari pembangunan koridor sejarah Jakarta) hanya sebatas rencana di atas kertas. Tidak pernah ada realisasinya.

Bahkan, ketika periode pertama Sutiyoso menjabat Gubernur DKI, revitalisasi kota tua masih dipandang sebelah mata. Tahun 2004 Masyarakat Kota Bandar Jakarta telah memantapkan konsep pelestarian koridor sejarah Jakarta mulai dari tanjung Sunda Kelapa hingga Monas. Bersamaan dengan itu, koridor yang juga disebut the pride of nation yang merefleksikan roh Kota Joang Jakarta tersebut tertuang dalam buku Palapa Nusantara, Jembatan Budaya Asia-Eropa. Koridor sejarah Jakarta sarat dengan kekuatan laten yang tersembunyi dengan Sunda Kelapa sebagai cikal bakal kejayaan keemasan Batavia abad ke-17 dengan julukan The Queen of the East.

Kawasan potensial tersebut diangkat kembali, roh kejayaan masa lalu bagi kebangkitan gengsi kota, wisata kota, promosi, maupun kebangkitan fungsi lamanya sebagai generator kebangkitan vitalitas ekonomi kota.

Pelaksana Harian Badan Pengelola Kawasan Wisata Bahari Sunda Kelapa Martono Yuwono hendak memosisikan Sunda Kelapa menjadi corner stone atau tengara. Koridor sejarah Jakarta yang diusulkan menghubungkan Sunda Kelapa ke Monas.

Tiga tengara baru yang diusulkan adalah dua dalam bentuk bangunan dan satu berbentuk tugu. Gagasan rekonstruksi Bandar Dagang Jakarta Lama yang terletak di sepanjang kawasan Kali Opak dan Kali Besar dinilai sebagai lokal genius pada situs sejarah Sunda Kelapa.
Kawasan itu dirancang dengan filosofi sebagai refleksi kelangsungan benang merah sejarah pembangunan kota bahari Jakarta sebagai ibu kota negara bahari terbesar di dunia.

Selanjutnya, sebagai sejarah perjuangan bangsa bahari mengusir kekuatan asing hingga mencapai kemerdekaannya. Juga sebagai sejarah pembangunan bandar kota dagang yang mengangkat pamor atau gengsi, kejayaan dan posisi strategis masa lalu kota dalam percaturan perdagangan dunia yang pernah disandangnya berabad-abad lamanya.

Tahun 2006 wacana itu kembali mencuat. Kali ini gayung bersambut. Mengakhiri masa jabatannya untuk periode kedua (2002-2007), Sutiyoso malah menjadikan revitalisasi kota tua sebagai bagian dari proyek unggulan yang sejajar dengan busway, Banjir Kanal Timur, dan Ijo Royo-royo.

Sayangnya, kemudian, lagi-lagi gagasan menjadikan Sunda Kelapa hingga Monas sebagai koridor sejarah Jakarta menghadapi kendala lagi seperti diusulkan kembali oleh Martono dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masih berkendala.
Gagasan yang direncanakan akan dideklarasikan tanggal 30 November mendatang itu belum sepenuhnya diterima oleh Pemerintah Provinsi DKI. "Harus disepakati dulu oleh para ahli sejarah," kata Gubernur, seperti dikutip oleh Lola.

Masalah lain adalah apakah tengara itu harus berupa bangunan baru. Sebab, di Sunda Kelapa sebenarnya sudah ada Museum Bahari yang bisa saja dijadikan tengara.
Pemprov DKI juga mempermasalahkan gagasan itu agar tidak berdiri sendiri. Sebab, yang namanya membangun di kota Jakarta tentunya harus menggabungkan dengan perencanaan Dinas Tata Kota. "Harus hati-hati mencanangkan sesuatu gagasan. Sebaiknya menggabungkan dengan konsep pembangunan kota yang sudah ada," papar Lola.

Ketua Dewan Kesenian Jakarta Marco Kusumawijaya menilai, pada dasarnya gagasan memunculkan kembali koridor sejarah Jakarta merupakan sesuatu yang surprise. Bahwa, kembalinya gagasan-gagasan nasionalisme yang ingin diterapkan pada sebuah kota adalah rencana yang sangat besar. "Tetapi harus hati-hati saja karena dalam sejarah kota, hal itu biasanya terjadi dalam suatu rezim yang sangat imperialis dan sangat fasis," ujar Marco yang juga arsitek.

Dukungan terwujudnya koridor sejarah Jakarta juga datang dari MT Zein. Gagasan itu secara keseluruhan menjual gagasan mengenai kota tua. "Yang ditakutkan adalah gagasan itu menjadi personal," katanya.

Sebagai yang mewakili masyarakat Betawi, Budi Liem hanya mengharapkan pembangunan koridor sejarah Jakarta ini dapat dihidupkan lagi. Dengan begitu, terlihat cermin dari akulturasi bangsa. Di kawasan itu pula akan tergambar cikal bakal orang Betawi dalam bentuk bangunan-bangunan fisik.
"Kalau itu terealisasi, ini merupakan pintu masuknya pembinaan budaya Betawi untuk seterusnya," ujar Budi Liem.

Melihat kenyataan masih belum adanya kata sepakat, menjadikan koridor sejarah kota Jakarta terwujud di kota-kota besar dunia lainnya, bisa saja hanya mimpi. Menyejajarkan koridor Sunda Kelapa-Monas dengan koridor kota dunia seperti Unter den Linden, Avenue Des Champs-Elysees, dan Rambla Barcelona, Kobe Dream Experience di Jepang juga masih terlalu jauh....

0 comments:

test