Oleh: Aditya W Fitrianto*
Tidak dapat dimungkiri bila saat ini banyak kualitas ruang kota kita semakin menurun dan masih jauh dari standar minimum sebuah kota yang nyaman, terutama pada penciptaan maupun pemanfaatan ruang terbuka yang kurang memadai.
Penurunan kualitas itu antara lain dari tidak ditata dan kurang terawatnya pedestrian atau ruang pejalan kaki, perubahan fungsi taman hijau, atau telah menjadi tempat mangkal aktivitas tertentu yang mengganggu kenyamanan warga kota lain untuk menikmatinya.
Tak heran sekarang banyak ruang komersial seperti mal dipenuhi warga kota walau hanya sekadar jalan-jalan dan cuci mata. Walaupun pertumbuhan jumlah mal atau trade center sudah dirasa sampai titik jenuh, tetapi ternyata tetap saja dipenuhi pengunjung. Salah satu pendorong hal ini adalah karena minimnya ruang bagi warga kota sekadar untuk melepas kepenatan dari kesemrawutan suasana jalan kota.
Pengembang berlomba menangkap kebutuhan ini di dalam ruang komersial yang mereka hadirkan. Salah satunya dengan menciptakan ruang terbuka yang nyaman dan aman yang dilewatkan di tengah ruang ritel mereka yang sekarang sering disebut dengan istilah city walk.
City walk sebenarnya tak lebih dari koridor jalan yang dikhususkan untuk deretan toko. Kota Jakarta sempat memiliki beberapa koridor jalan dengan suasana belanja yang khas, seperti Jalan Sabang, Pasar Baru, dan Jalan Lintas Melawai. Kota lain pun memiliki koridor jalan ini, seperti Yogyakarta dengan Malioboro dan Bandung dengan Cihampelas-nya.
Bedanya, jalan-jalan itu milik publik, sedangkan city walk ini berada di lahan properti milik pengembang privat yang diperuntukkan sebagai ruang publik. Jadi, tidak perlu heran ketika jalan-jalan tersebut akhirnya turun pamornya karena memang tidak mendapat perhatian, baik dalam faktor keamanan maupun pengelolaan dari pemerintah kota setempat.
Koridor ruang terbuka
City walk hadir berupa koridor ruang terbuka untuk pejalan kaki yang menghubungkan beberapa fungsi komersial dan ritel yang ada. Koridor ini biasanya terbuka dan relatif cukup lebar, berkisar 6 hingga 12 meter, tergantung konsep jenis kegiatan yang akan diciptakan.
Cihampelas Walk atau CiWalk, misalnya, cukup berhasil menghadirkan ruang terbuka dengan memanfaatkan kontur lahan dan lansekap yang ada sehingga pada sudut tertentu terasa seperti benar-benar jalan di sebuah taman kota.Menariknya lagi, letak CiWalk ini hanya menempel di koridor legendaris Jalan Cihampelas. Masing-masing mempunyai segmen pengunjung sedikit berbeda sehingga tidak menyedot pengunjung shopping street yang ada, bahkan saling meramaikan suasana dan dapat lebih membantu mengangkat kualitas ruang kawasan tersebut.
Aktivitas di city walk biasanya lebih ke arah gaya hidup yang sedang berkembang saat itu. Dari tempat nongkrong di kafe dan restoran sampai toko yang menjual pernak-pernik yang berkaitan dengan gaya hidup, seperti barang teknologi, tempat bermain anak, olahraga, bioskop, hingga barang kerajinan.
Hal ini cukup berhasil dimanfaatkan oleh Cilandak Town Square atau Citos yang awalnya ingin membuat mal dengan aktivitas khusus berkoridor terbuka. Aktivitas komersial bertema gaya hidup yang diusung mal ini membuatnya menjadi salah satu tempat mangkal favorit anak muda di selatan Jakarta. Padahal lokasi ini relatif jauh dari pusat keramaian kota.
Persimpangan koridor city walk sering digunakan sebagai ruang terbuka untuk panggung pertunjukan. Ruang ini juga berfungsi sebagai penghubung atau penyatu massa bangunan yang biasanya terpecah. Fungsi kegiatan ini sangat membantu dalam mengundang pengunjung pada waktu tertentu, seperti akhir minggu.
Plaza terbuka di tengah La Piazza, Kelapa Gading, misalnya, cukup nyaman untuk sekadar duduk atau mengadakan acara pertunjukan sore hari karena ruang terbuka ini cukup terlindung dengan massa bangunan ritel yang mengelilingi sisi barat sehingga tidak terkena matahari sore yang panas.
Di ruang terbuka ini tak lupa disediakan tempat untuk duduk- duduk dan kawasan berair, seperti kolam ikan atau air mancur. Dan permainan enviromental graphic yang baik cukup membantu mengangkat suasana ruang city walk.
Kawasan konservasi
Kecenderungan city walk sebenarnya bukanlah barang baru. Beberapa tempat di mancanegara sudah sering menghadirkan konsep city walk pada sudut ruang kotanya. Lahan kota yang kurang hidup dapat disulap menjadi kawasan ritel dengan suasana khas. Di Singapura misalnya, banyak tempat yang seperti ini, seperti Clark Quay, Far East Square, dan Bugis Junction.
Konsep city walk di Singapura sering digunakan untuk menghidupkan kawasan kota tua. Beberapa blok bangunan tua diperbaiki dan dimanfaatkan sebagai area ritel yang disatukan dengan kawasan pedestrian bebas kendaraan yang terpadu.Ruang terbuka ini menjadi tempat alternatif yang nyaman untuk sekadar duduk-duduk, makan, atau bersantai. Tempat- tempat ini selalu ramai pada sore hari sesudah jam kerja. Pada hari libur bahkan sudah ramai sejak siang hari. Dengan konsep city walk, pemerintah setempat dapat mengubah kota tua yang mati menjadi kawasan yang aktif dan muda kembali.
Revitalisasi bagian kawasan kota tua adalah salah satu strategi pengembangan kota yang memiliki perjalanan historis tersendiri. Konsep city walk membantu menghadirkan ruang terbuka dan fungsi baru yang beradaptasi dengan baik serta tetap memerhatikan situasi di seputarnya.
Perkembangan kota yang bergulir cepat memang terkadang melupakan kebutuhan warga akan ruang terbuka yang aman dan nyaman sehingga alternatif ruang komersial menjadi ruang terbuka publik pun tak dapat dihindari.
Dan konsep city walk juga diharapkan dapat menjadi alternatif dalam upaya menghidupkan serta mengangkat kawasan kota yang sudah pudar atau konservasi kota tua di kota-kota Indonesia yang lain.
Aditya W Fitrianto Arsitek, pemerhati pusaka kota dan arsitektur di Jakarta
dari Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
test
0 comments:
Post a Comment